“Kemarilah mas. Aku ingin berlama-lama duduk denganmu di bangku kecil ini. ”
Pucat. Wajah itu tak secantik dulu. Tapi masih jelas kulihat gurat-gurat kecantikannya di sana. Kudekap erat tubuh ringkihnya. Kusandarkan kepalanya di bahuku.
Tidak ada kata yang terucap. Hening. Hanya hembusan napas dan angin semilir.
“Kita masuk ke dalam yuk. Di sini dingin.”
Dia menggeleng.
Taman belakang rumah ini, menjadi saksi kebahagiaan kami selama delapan tahun. Meski kami belum juga dikaruniai anak. Tapi aku menerima semuanya. Karena aku begitu mencintainya.
“Sayang, sudah malam. Ayo masuk.”
Dekapannya kian erat. Seperti tak ingin berpisah denganku. Sayang, aku berdosa sekali padamu.
“Sayang, ayo masuk. Ada yang ingin aku omongkan denganmu. Di dalam aja yah.”
Dia menggeleng. Lemas. Aku memeluknya kian erat. Kubelai kepalanya yang tertutupi jilbab.
Maafkan aku, sayang. Seharusnya aku berterus terang padamu. Tapi aku tak ingin menyakitimu.
“Sebenarnya, aku.. Ah, sayang, maafkan aku karena telah mengkhianatimu. Maafkan aku. Aku tak berniat menyakitimu. Aku mencintai wanita lain. Wanita yang kini menjadi istriku. Nay, maafkan mas yah.”
Kecium kening istriku. Kubelai lembut kepalanya. Tak ada respon. Tangannya yang sedari tadi kugenggam, tiba-tiba jatuh terkulai. Kuguncang tubuhnya. Lemas. Tak bernapas.
“Nay, bangun Nay.”
Kugoncangkan tubuh di sebelahku. Kutepuk pipinya lembut. Kuangkat tubuh Nay ke dalam kamar. Kubaringkan di atas dipan.
Kupeluk tubuh yang sudah lemas itu. Sampai kutemukan sebuah surat di genggamannya.
*
Suamiku sayang,
Maafkan aku, istrimu yang harus meninggalkanmu lebih dulu. Aku sudah tidak kuat menahan sakit di tubuh ini. Sudah sejak lama, penyakit ini kusimpan sendiri. Aku tak ingin memberitahumu. Karena aku tak ingin kamu terluka, sayang. Aku tak ingin merusak kabahagiaanmu.
Sayang, maafkan aku, istrimu. Sebenarnya, aku sudah tau semua yang terjadi. Antara kamu dan dia. Al, isterimu yang lain. Akulah yang mengatur semuanya. Mulai perkenalan di kantor, hingga kalian berdua menikah.
Maafkan aku, sayang. Ini semua aku lakukan, karena aku tak ingin kau kesepian, sepeninggalku. Apalagi, sampai di tahun ke delapan pernikahan kita, belum juga dikaruniai anak.
Aku yakin, Al sangat mencintaimu. Dia akan merawatmu, seperti aku merawatmu. Dia wanita yang sangat baik. Mas tidak akan kecewa padanya. Dan aku minta sama mas, agar tak mengecewakan Al. Dia sahabat terbaikkku mas.
Mas, aku bahagia dengan semua ini. Meski aku tak lagi mendampingimu. Tapi tak mengapa. Karena ada Al di sana. Yang bisa menjadi penggantiku. Apalagi aku tahu, Al sudah mengandung benih cinta kalian.
Semoga kalian bahagia, mas.
With luv,
Istrimu.
*
Kuremas surat itu. Air mata mengalir deras dari kedua mataku. Ya Allah, bukan begini inginku. Aku hanya ingin mencintai dan menjaga Nay sampai kami menua.
Di samping dipan, kudapati surat dari sebuah rumah sakit. Nay divonis kanker rahim, stadium empat. Ya Allah, Nay, kenapa kau tak memberitahuku?
Sakit! Tapi aku tau, Nay lebih sakit menghadapi ini semua. Jiwamu, ragamu. Maafkan aku, Nay. Maafkan aku karena tak bisa menjadi suami yang baik buatmu. Maafkan aku karena terus menyakitimu di sisa hidupmu. Maafkan aku, karena telah mengabaikanmu.
Sayup-sayup, terdengar lagu favorit kami berdua..
Semua hangatnya, oh.. dirimu…
Berikan aku arti hidup
Suguhkan segala raga dan jiwamu untukku
Nay, maaf…
***
word count: 500
orang bijak meninggalkan jejak… (maaf ya, komennya dikandangin dulu) :D